Sekarang ini, semua orang yang sakit dengan gejala flu dan demam, akan otomatis menjadi ODP. Semua, tanpa terkecuali. Mau cuma mencret atau jatuh terkilir, kalau ada demam dan flu, otomatis ODP Covid.
Begitu juga dengan pasien meninggal dunia. Bila pasien tersebut meninggal dengan riwayat flu dan demam, atau masuk dalam kategori PDP dan sebagainya, atau dalam kata lain meski belum dinyatakan positif covid, masih dalam pemeriksaan atau menunggu hasil lab, tapi kemudian meninggal duluan, maka pemakamannya menggunakan standar Covid.
Maka jangan heran kalau Gubernur Anies Baswedan dengan bodohnya membentuk opini negatif, bahwa puluhan jenazah setiap harinya dikubur dengan protap Covid.
Anies juga dengan liciknya curhat kanan kiri, mengatakan bahwa angka pemakaman di Jakarta meningkat drastis dari biasanya. Tapi dia lupa melihat angka kematian Jakarta yang sebenarnya masih dalam angka rata-rata.
Anies ini memang cerdas. Tapi kecerdasannya digunakan untuk membodohi masyarakat awam. dia mengklaim bahwa rata-rata pemakaman 2.700 jenazah perbulan. Namun mulai naik pada Maret menjadi 4.500 jenazah.
Datanya benar. Memang ada peningkatan. Tapi kalau disimpulkan semua jenazah itu karena covid, ya salah. Karena angka kematian di Jakarta masih dalam rata-rata 5.000 orang perbulan. Artinya kalau pemakamannya masih 4.500, ya wajar. Itu berarti banyak jenazah langsung dimakamkan di Jakarta karena kendala PSBB.
Sementara dalam kondisi normal, biasanya orang memilih memakamkan jenazah di kampung halamannya. Jadi tak semua dimakamkan di Jakarta.
Lalu kemarin ada lagi kasus perawat hamil dan meninggal dunia. Sontak tim sorak sorai menangisinya. Termehek-mehek dan mengaitkannya dengan pelanggaran PSBB. Menganggap perawat tersebut adalah pahlawan yang menangani pasien covid. Sementara di luar sana, pasar tetap ramai dalam rangka persiapan lebaran.
Dari sini kemudian kampanye hastag Indonesia Terserah semakin menguat. Banyak foto dokter memegang kertas bertuliskan “Indonesia terserah” dan sejenisnya.
Jujur saya pun sedih. Terlebih perawat yang wafat tersebut masih cukup muda. Tak ada perpisahan yang menyenangkan, sekalipun itu hanya mantan atau orang tidak penting lainnya. Tapi, dalam kondisi apapun, logika kita harus tetap hidup.
Lalu sebagian orang mulai bertanya, apa bisa perawat hamil menangani pasien covid? Sementara aturannya tidak membolehkan. Dr tirta dengan segala asumsinya menjawab “mereka tetap mau berjuang. Itulah hebatnya mereka.”
Tapi kebenaran itu seperti cahaya. Tak mungkin bisa ditutupi oleh gelap. Sehingga kita akhirnya tahu bahwa perawat yang meninggal tersebut menurut juru bicara RS Royal Surabaya, tidak masuk dalam tim yang menangani pasien covid. Karena kondisinya sedang hamil. Lebih dari itu, perawat tersebut belum diketahui positif, masih dalam status PDP.
Selaini itu, kalaupun nanti hasil lab menyatakan positif, perawat tersebut tidak bisa disimpulkan sebagai perawat yang gugur karena menangani pasien covid.
Tapi apa guna fakta-fakta ini? sementara narasi termehek-mehek sudah terlanjur disosialisasikan. Terlanjur dikaitkan dengan orang-orang yang menumpuk di pasar dan tak peduli, sementara perawat mati karena menangani pasien covid yang sebagiannya adalah orang-orang ngeyel tersebut.
Bagaimanapun kematian selalu lekat dengan duka. Sementara pelanggaran PSBB dan tetap berkurumun, juga adalah kesalahan. Tapi keduanya adalah fakta berbeda. Mengaitkan keduanya untuk menciptakan emosi publik dengan kampanye Indonesia terserah yang dilakukan oleh oknum dokter, adalah kesalahan. Tak ada bedanya dengan Anies yang hanya berkoar soal jumlah pemakaman dengan protap covid, tapi menutupi penjelasan tentang PDP yang juga dimakamkan dengan stanadar covid. Menutupi jumlah kematian yang sebenarnya masih dalam angka rata-rata, lalu hanya fokus pada data pemakaman.
Memang, para dokter dan perawat akan merasa sedih dengan kejadian ini. Semakin sedih, semakin tidak peduli dengan data dan fakta. Sama seperti IDI yang mendata dokter meninggal saat pandemi atau karena covid. Mereka tak menjelaskan apakah dokter yang meninggal tersebut karena menangani pasien, karena penyakit lain, atau karena tertular covid dari luar negeri. Pokoknya ada yang mati, langsung masuk list dan berduka bersama-sama. Begitu memang cara mereka.
Dalam kondisi seperti sekarang, ada baiknya semua orang menahan diri. Semua pihak. Masyarakat menahan diri untuk tidak berkumpul. Sebisa mungkin belanja online dibanding ke pasar. Sementara dokter yang pasti jauh lebih berpendidikan, lebih cerdas dari masyarakat awam yang ngeyelan, juga jangan merendahkan diri dengan ikut kampanye Indonesia Terserah. Tetaplah bekerja sesuai tugas masing-masing. Tapi jika memang sudah ketakutan, kecapean atau putus asa, ada opsi untuk mengundurkan diri atau alih profesi seperti dr tirta.
Pada dasarnya hidup ini pilihan sederhana saja. Kita jalani apa yang sudah menjadi pilihan kita selama ini, atau memilih berhenti sekarang dan selamanya. Begitulah kura-kura.
Seword.com
0 Komentar