Nilai tukar rupiah menguat tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan lalu, hingga jauh melewati level psikolgis Rp 14.000/US$. Derasnya aliran modal yang masuk ke Indonesia membuat rupiah terus berjaya.
Tercatat sepanjang pekan lalu rupiah menguat nyaris 5% ke Rp 13.850/US$ dan saat ini berada di level terkuat sejak 24 Februari.
Secara teknikal, penguatan tajam rupiah pada hari Selasa (2/6/2020) membentuk pola Black Marubozu dilihat dari grafik candle stick harian.
Rupiah membuka perdagangan Selasa di level Rp 14.480/US$ sekaligus menjadi level tertinggi harian, dan menutup perdagangan di level Rp 14.380/US$ sekaligus menjadi level terendah intraday. Sehingga secara teknikal rupiah disebut membentuk pola Black Marubozu.
Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrumen akan mengalami penurun lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan.
Terbukti, rupiah langsung melesat di pekan ini, hingga menembus level psikologis Rp 14.000/US$, bahkan cukup jauh di bawahnya.
Kini target rupiah selanjutnya Rp 13.565/US$ yang merupakan Fibonnaci Retracement 100%, dan tidak menutup kemungkinan akan dicapai pada pekan ini.
Fibonnaci Retracement tersebut ditarik dari level bawah 24 Januari (Rp 13.565/US$) lalu, hingga ke posisi tertinggi intraday 23 Maret (Rp 16.620/US$).
Sementara itu, melihat indikator stochastic pada grafik harian masih berada di level jenuh jual (oversold) dalam waktu yang cukup lama, rupiah memang sangat rentan mengalami koreksi alias melemah.
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik naik. Dalam hal ini, USD/IDR berpeluang naik, yang artinya dolar AS berpeluang menguat setelah stochastic mencapai oversold.
Stochastic yang oversold dalam waktu lama dapat memicu aksi ambil untung (profit taking) yang membuat rupiah melemah. Rupiah perlu "mengambil nafas" dulu setelah berlari kencang pada pekan lalu.
Resisten (tahanan atas) terdekat berada di kisaran Rp 13.930/US$, jika tersebut ditembus, rupiah berisiko kembali menguji level psikologis Rp 14.000/US$.
Selama bertahan di bawah level psikologis tersebut, rupiah berpeluang besar mencapai level Rp 13.565/US$ yang merupakan level terkuat tahun ini sekaligus dalam 2 tahun terakhir.
Secara fundamental, derasnya aliran modal yang masuk ke dalam negeri menjadi penopang penguatan rupiah pada pekan lalu.
Derasnya aliran modal ke dalam negeri terlihat dari lelang obligasi atau Surat Berharga Negara (SBN) Selasa pekan lalu yang penawarannya mencapai 105,27 triliun. Ada 7 seri SBN yang dilelang kemarin, dengan target indikatif pemerintah sebesar US$ 20 triliun, artinya terjadi oversubscribed 5,2 kali.
Pemerintah menyerap Rp 24,3 triliun dari seluruh penawaran yang masuk, di atas target indikatif, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan.
Di pasar saham, juga terjadi inflow yang cukup besar. Berdasarkan data RTI, sepanjang pekan lalu investor asing melakukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 3,45 triliun di all market.
Mood pelaku pasar global yang sedang bagus-bagusnya merespon new normal atau memutar kembali roda perekonomian dengan protokol kesehatan yang ketat di berbagai negara, membuat aliran modal deras masuk ke negara emerging market. Indonesia menjadi salah satu yang mendapat keuntungan.
Sentimen pelaku pasar saat ini juga masih bagus, setelah data tenaga kerja AS yang dirilis pada Jumat lalu secara mengejutkan mampu mencatat hasil positif.
Data yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan sepanjang bulan Mei perekonomian AS mampu menyerap 2,5 juta tenaga kerja artinya ada perekrutan tenaga kerja kembali. Sementara hasil survei Reuters memprediksi akan ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) 8 juta tenaga kerja.
Tingkat pengangguran juga menurun menjadi 13,3% dari sebelumnya 14,7%. Sementara hasil survei Reuters memprediksi tingkat pengangguran akan naik menjadi 19,8%.
Hasil tersebut sangat mengejutkan sekaligus memberikan optimisme jika perekonomian bisa segera bangkit dari keterpurukan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dan terhindar dari resesi panjang.
Dampaknya, aliran modal bisa kembali masuk ke Indonesia yang berpeluang membawa rupiah kembali menguat. Tetapi, rupiah juga perlu "mengambil nafas" setelah berlari kencang, dengan kata lain ada risiko profit taking yang membuat rupiah bisa melemah. (cnbc)
0 Komentar