Sultan Hamid II atau Syarif Hamid Alkadrie disebut mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono sebagai pengkhianat. Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) sependapat dengan penilaian Hendropriyono. Sultan Hamid II disebut pernah merencanakan pembunuhan ke Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
"Ini sejarah kelam," kata sejarawan dari UGM Profesor Djoko Suryo kepada detikcom, Kamis (18/6/2020).
Baik Sultan Hamid II maupun Sri Sultan HB IX adalah bangsawan dari kerajaan masing-masing. Keduanya juga sama-sama menempuh pendidikan di Negeri Kincir Angin.
"Sultan Hamid II dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah teman belajar sewaktu masih menempuh pendidikan di Negeri Belanda. Keduanya adalah anak bangsawan semua. Namun, sepulangnya ke Tanah Air, Sri Sultan HB IX pro-republik, dan Hamid pro-Belanda. Kemudian mereka berdua bermusuhan secara diam-diam," tutur Djoko.
Sri Sultan HB IX sempat memberikan memorinya mengenai Sultan Hamid II semasa kecil. Keterangan Sri Sultan HB IX tertuang dalam buku 'Takhta untuk Rakyat' karya Mohamad Roem dkk.
"Pada waktu itu saya pernah sekelas dengan Hamid, kemudian dikenal dengan nama Sultan Hamid II. Ketika kecil sebutannya adalah Mozes. Ia tinggal di Yogya, hanya ditemani seorang gouvernante (pengasuh-pendidik_ berkebangsaan Inggris bernama Nyonya Fox," kata Sultan dalam buku itu.
Waktu berlalu, Indonesia merdeka dari Belanda. Pada 1949, Konferensi Meja Bundar (KMB) dilaksanakan. Sultan Hamid adalah perwira KNIL (tentara kerajaan Hindia-Belanda), dalam KMB tahun 1949, Sultan Hamid II menjadi Ketua Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg/BFO).
BFO adalah organisasi negara-negara bagian bentukan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Hubertus van Mook. Dalam KMB, wakil Indonesia adalah Muhammad Hatta.
Kesepakatan KMB membuat Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS). Kemudian, Sultan Hamid menjadi Menteri Negara RIS Zonder Portofolio, sedangkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah Menteri Pertahanan RIS.
Pada tahun 1950, ada upaya kudeta dari mantan Kapten tentara kerajaan Hindia-Belanda (KNIL) Raymond Westerling. Dia mendirikan milisi (sipil bersenjata) bernama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Di periode inilah Sultan Hamid II disebut-sebut merencanakan pembunuhan terhadap Sri Sultan HB IX.
"Hamid bekerja sama dengan Westerling, dia jelas di pihak Belanda. Terlihat pada saat itu, orang yang membela republik dan ada orang yang pro-Belanda dan tidak ingin republik," kata Djoko.
Belanda masih ingin mengembalikan kekuasaannya atas wilayah Indonesia. Upaya kudeta dilancarkan. Salah satu sasaran pembunuhan dalam aksi kudeta adalah Sri Sultan HB IX.
"Saat setelah Ibu Kota pindah ke Jakarta (dari Yogyakarta, pada 17 Agustus 1950), kemudian terjadi percobaan pembunuhan ke Sri Sultan HB IX. Sultan Hamid bekerja sama dengan kaum militer Belanda, diam-diam melakukan aksi menentang pemerintahan. Hamid ingin menduduki posisi yang strategis," tutur Djoko.
Lalu bagaimana bisa seorang pro-Belanda bisa berada dalam pemerintahan RIS? Bagaimana bisa Presiden Sukarno mempercayakan perancangan lambang negara ke Sultan Hamid II yang dinilai pro-Belanda? Menurut Djoko, itulah politik, tidak ada politik yang hitam-putih sejak dulu sampai era modern sekarang.
"Tidak ada yang hitam-putih, namanya politik. Pemimpin harus mengakomodasi. Kadang-kadang orang berjasa, tetapi kemudian membelot, itu dalam persoalan pemimpin kita kadang-kadang belok, ikut jadi pemberontak, ya namanya manusia," kata Djoko.
Djoko mengatakan Sultan Hamid II adalah pengkhianat apabila sudut pandang yang dipakai adalah sudut pandang pro-republik. Sebenarnya tak hanya Sultan Hamid II saja yang bisa digolongkan sebagai pengkhianat melainkan banyak nama lainnya, meski kadang orang-orang itu juga punya jasa untuk Indonesia.
"Tinggal definisi pengkhianat itu apa. Yang membela republik namanya pejuang, yang menentang namanya pengkhianat. Tapi itu yang menyebut orang Indonesia. Kalau dari definisi itu, Hamid bisa dikelompokkan ke dalamnya," kata Djoko.
Penangkapan Sultan Hamid II
Dilansir buku 'Ign Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas RMS' karya Julius Pour, Pemerintah bereaksi terhadap aksi Westerling. Pemerintah mengambil tindakan keras dengan memecat Sultan Hamid II dari jabatan Menteri Negara.
Sultan Hamid II disergap di kamarnya di Hotel Des Indes, Jakarta. Setelah menjalani beberapa kali sidang, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman 10 tahun kepada Sultan Hamid II, pada 8 April 1953.
Sultan Hamid II terbukti bersalah, "Mempersiapkan pemberontakan bersenjata dan mencoba menggerakkan orang lain untuk melakukan pemberontakan ketika negara sedang dalam keadaan perang."
Dilansir Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Suratmin dalam tulisan 'Peranan Sri Sultan HB IX pada Tahun 1950-1965' menjelaskan Sri Sultan HB IX dan Sultan Hamid II sebenarnya adalah sahabat karib sejak sekolah rendah sampai kuliah di Belanda.
Namun Belanda kemudian kecewa saat Sultan HB IX menjadi Menteri Pertahanan. Belanda lebih menjagokan Sultan Hamid II sebagai Menteri Pertahanan. Soalnya, Sultan Hamid II adalah perwira KNIL.
"Dengan kekecewaan itu Belanda merencanakan suatu kamp militer yang akan membunuh dan menawan beberapa tokoh terkemuka dalam Kabinet Hatta termasuk Sri Sultan, tetapi rencana ini bocor. Sri Sultan sendiri sebagai Menteri Pertahanan ikut secara aktif dalam membongkar komplotan itu, dan sekaligus menahan Sultan Hamid II sahabatnya yang menjadi tokoh sentralnya," tulis Suratmin.
Sultan Hamid II tidak bersalah
Ketua Yayasan Sultan Hamid II, Anshari Dimyati, dalam pernyataan sikapnya di Pontianak, Senin (15/6) kemarin, menegaskan Sultan Hamid II bukan pengkhianat. Dia menanggapi tudingan terbaru, yakni yang berasal dari Hendropriyono bahwa Sultan Hamid II adalah pengkhianat.
"Sultan Hamid II tidak terbukti melakukan makar. Meski, akhirnya ia dipenjara 10 tahun atas tuduhan berkomplot melakukan penyerangan bersama Angkatan Perang Ratu Adil yang dipimpin Westerling di masa Revolusi Nasional Indonesia," ujar Anshari seperti dilansir Antara.
Sultan Hamid II disebut Ansari sangat berjasa terhadap bangsa ini, karena karyanya sebagai pencipta lambang negara.
"Sebagai pencipta lambang negara, Sultan Hamid II telah diusulkan agar mendapat gelar kepahlawanan sejak tahun 2016 hingga 2019, namun usulan itu selalu dijegal. Padahal segala persyaratan sudah dipenuhi, mulai dari kajian ilmiah, seminar hingga persyaratan administrasi sudah disampaikan ke Kementerian Sosial," katanya. (dtc)
0 Komentar