Setelah buron selama 11 tahun, Djoko Tjandra akhirnya berhasil ditangkap oleh penyidik Bareskrim Polri di Malaysia, Kamis (30/7/2020).
Terpidana kasus pengalihan utang atau cessie Bank Bali yang kabur ke luar
negeri sejak 2009 itu dijemput langsung oleh Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo.
Menggunakan pesawat tipe Embraer ERJ 135 dengan nomor registrasi PK RJP, Djoko Tjandra kemudian diboyong ke Indonesia
dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Diapit penyidik, Djoko Tjandra tampak turun dari pesawat dengan mengenakan baju oranye dan masker menutupi mulutnya.
Lantas, apa sajakah fakta menarik seputar penangkapan Djoko Tjandra? Berikut rangkumannya:
Perintah Presiden
Dalam konferensi pers, Kamis malam, Komjen Listyo mengungkapkan bahwa operasi penangkapan Djoko Tjandra ini berawal dari perintah Presiden Joko Widodo.
Usai pemberitaan Djoko Tjandra di Indonesia ramai, apalagi sampai menyeret sejumlah pejabat di Polri, Presiden Jokowi langsung memerintahkan Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menangkap Djoko Tjandra.
Sejak perintah itu diturunkan, pihaknya langsung menggelar operasi senyap selama dua pekan di Kuala Lumpur, Malaysia, lokasi Djoko Tjandra bersembunyi.
"Atas perintah (Presiden) tersebut, Kapolri kemudian membentuk tim untuk menindaklanjuti perintah," kata Listyo di Gedung Bareskrim.
Tim yang diketuainya lalu mulai mencari informasi tentang keberadaan Djoko Tjandra.
"Dan kita dapat informasi yang bersangkutan berada di Kuala Lumpur," lanjut Listyo.
Strategi police to police
Listyo beserta tim berkoordinasi dengan Kepolisian Diraja Malaysia untuk mencari Djoko Tjandra.
"Ditindaklanjuti dengan kegiatan police to police. Kami mengirimkan surat kepada Kepolisian Diraja Malaysia untuk upaya pencarian," ucap Listyo.
Kerja sama itu berbuah hasil. Keberadaan Djoko Tjandra terdeteksi secara spesifik pada Kamis siang.
"Tadi (kemarin) siang, yang bersangkutan atau target bisa diketahui," ujar Listyo.
"Tadi sore kami dari Bareskrim, Kadiv Propam, berangkat untuk pengambilan. Alhamdulillah, Bareskrim dengan Kepolisian Diraja Malaysia, saat ini narapidana Djoko Tjandra sudah berhasil kami amankan," kata dia.
Menanti proses hukum
Setelah ditangkap, Djoko Tjandra harus menjalani proses hukum di kepolisian dan Kejaksaan Agung.
"Namun demikian, di kepolisian tentunya juga ada proses hukum tersendiri," kata Listyo.
Diketahui, Djoko Tjandra seharusnya dieksekusi untuk menjalani hukumannya sesuai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Proses untuk Djoko Tjandra sendiri, tentunya ada proses di Kejaksaan yang tentunya akan ditindaklanjuti," lanjut Listyo.
Meski demikian, pihak Bareskrim dan Kejaksaan Agung belum membeberkan rinci proses hukum apa yang dimaksud.
Operasi senyap sejak 20 Juli
Menko Polhukam Mahfud MD membeberkan kronologi penangkapan Djoko Tjandra secara rinci.
Ia menyebutkan, operasi penangkapan Djoko Tjandra dirancang sejak tanggal 20 Juli 2020. Oleh sebab itu, Mahfud tidak merasa terkejut dengan penangkapan Djoko Tjandra.
"Saya tidak kaget karena operasi ini dirancang itu sejak tanggal 20 Juli," kata Mahfud, Kamis (30/7/2020) malam.
Pada tanggal tersebut, tepatnya pukul 11.30 WIB, Kabareskrim secara dadakan mendatangi kantornya.
Listyo mengatakan kepada Mahfud MD bahwa hendak menangkap Djoko Tjandra di negeri tetangga.
"Kabareskrim datang ke kantor saya, lapor, polisi siap melakukan langkah-langkah, punya skenario yang harus dirahasiakan," kata dia.
Skenario itu pun disebut hanya diketahui oleh empat orang, dirinya sendiri, Kabareskrim sebagai pelaksana, Kapolri Jenderal Idham Azis, dan Presiden Jokowi.
"Waktu itu juga, Kabareskrim berangkat ke Malaysia tanggal 20 itu," ungkap Mahfud.
Saat itu, Mahfud berkeyakinan operasi akan sukses. Oleh sebab itu, Mahfud lebih banyak menahan diri berbicara di media terkait Djoko Tjandra.
"Karena media selalu bertanya setiap hari, tinggal menunggu waktu dan waktu itu sudah tiba tanggal 30 (Juli) ini," kata Mahfud.
Mungkin ajukan PK kembali
Kini, mesti Djoko Tjandra sudah berada dalam wewenang aparat Indonesia, tak otomatis dapat langsung dikenakan hukuman.
Sebab, secara peraturan perundangan, Djoko Tjandra memungkinkan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasusnya.
Sebab, Djoko sudah menjadi terpidana secara fisik sehingga memenuhi syarat untuk kembali mengajukan PK.
"Begitu Djoko Tjandra menjadi terpidana, itu memenuhi syarat untuk PK lagi. Maka, juga mungkin saja dalam waktu dekat dia itu ajukan PK lagi ke MA," ujar Mahfud.
Mahfud sekaligus menekankan, apabila PK nantinya diajukan, itu sudah bukan ranah pemerintah. Proses tersebut merupakan ranah MA.
"Bukan urusan pemerintah, bukan urusan Presiden. Karena pengadilan urusan MA. Oleh sebab itu, yang harus dipelototi sekarang itu proses peradilan di MA," ujar Mahfud.
Dirinya berharap pimpinan MA memperhatikan hal ini secara sungguh-sungguh.
Mahfud juga mengingatkan masyarakat agar memahami konteks ranah pemerintah dengan proses peradilan hukum.
Tugas pemerintah adalah menghadirkan pihak terhukum atau terpidana.
Sementara itu, urusan peradilan sudah masuk ranah lembaga peradilan, dalam konteks ini adalah MA.
"Jadi, ke depannya MA supaya diawasi, tapi saya akan tetap berkoordinasi ke dalam agar pejabat yang terlibat itu ditindak. Jaksa Agung dan Kapolri yang sekarang ini beserta Kabareskrim saya sudah berdiskusi dari hati ke hati," kata Mahfud.
"Saya tahu mereka ini bersungguh-sungguh dan tidak terbebani oleh masa lalu sehingga lebih leluasa untuk melakukan tindakan," lanjut dia.
Kronologi kasus Djoko Tjandra
Kasus Djoko Tjandra bermula ketika Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat, sebagaimana diberitakan harian Kompas, 24 Februari 2000.
Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar.
Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai oleh R Soenarto memutuskan untuk tidak menerima dakwaan jaksa tersebut.
Kemudian, pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan PK ke Mahkamah Agung. MA menerima dan menyatakan Djoko Tjandra bersalah.
Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.
Namun, sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko Tjandra diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby, Papua Nugini.
Djoko Tjandra kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini pada Juni 2012. Namun, alih status warga negara itu tidak sah karena Djoko masih memiliki permasalahan hukum di Indonesia.
Kabar bahwa Djoko Tjandra kembali ke Tanah Air mengemuka ke publik setelah ia berupaya melakukan PK, tepatnya sekitar Juni - Juli 2020.
Bahkan, Djoko diketahui sempat berada di Indonesia serta mendaftarkan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dia diketahui sempat membuat e-KTP beserta paspor di Jakarta Barat sehingga dapat mendaftarkan PK ke pengadilan.
Setelah itu, Djoko Tjandra diketahui kembali meninggalkan Indonesia menuju ke Malaysia.
0 Komentar